Kamis, 04 Desember 2014

Contoh Review Artikel

Review Artikel
1.      Identitas Artikel
Nama penulis : Umrotul Khasanah
Judul artikel    : Implementasi Profit and Loss Sharing (PLS) Petani Bawang Merah Ditinjau dari                                  Konsep Ekonomi Islam 
Jumlah halaman : 20 halaman
Alamat website artikel : http://moraref.org/record/view/1355
2.      Pendahuluan
Investasi merupakan salah satu jalan untuk menghasilkan produk dan kesempatan kerja serta berani menanggung resiko dan kembalian modal investasi yang tidak pasti, dikatakan tidak pasti karena dalam melakukan invetasi kembalian modal invetasi ditentutakan oleh hasil  investasi  dan perdagangan yang tidak pasti pula. Oleh karena itu kembalian yang sudah pasti pada tiap bulan atau tahun dalam sistem bunga yang dilakukan oleh bank konvensional dikatakan bukan termasuk investasi. Pola investasi yang dilakukan sesuai dengan perintah Al-Quran dan Al-Hadist,  yaitu dana yang terkumpul dipinjamkan atau dikelola oleh pengguna modal investasi untuk diusahakan atau digunakan untuk usaha yang menghasilkan suatu produk dan jasa, hasil dari keuntungan produk dan jasa tadi akan dibagi hasilkan. Dalam fikih islam dijelaskan bahwa syirkah yaitu usaha bersama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk melakukan usaha secara bersama dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan, dan keuntungan tersebut dibagi sesuai kesepakatan antara orang yang melakukan syirkah tadi.    
Profit sharing merupakan salah satu konsep ekonomi islam, dimana konsep tersebut dapat dinamakan bagi hasil. Bagi hasil yang diperoleh dari keuntungan harus dibagi secara proporsional antara shohibul maal dan mudharib, sehingga pengeluaran yang dikeluarkan untuk kepentingan usaha bukan merupakan keuntungan oleh mudharib atau orang yang mengelola usaha, tetapi keuntungan tersebut masuk didalam biaya operasional. Sehingga keuntungan yang diperoleh oleh shahibul maal dan mudharib yaitu keuntungan bersih. Tidak ada pembagian keuntungan sebelum  semua kerugian telah ditutupi dan ekuiti shahibul maal telah dipenuhi.  Bagi hasil merupakan salah satu cara untuk menciptakan perataan ekonomi, karena didalam investasi bagi hasil terdapat kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang dilakukan dengan musyawarah untuk kepentingan bersama. Serta investasi dengan model bagi hasil akan tercipta distribusi keuntungan yang merata dan menjamin alokasi sumber ekonomi lebih baik.
3.      Latar belakang atau Masalah
Masyarakat Indonesia sudah banyak yang melakukan sistem bagi hasil atau musyarakah, terutama masyarakat yang berada dipedesaan mata pencaharaian utama mereka sebagai petani. Namun dilingkungan pedesaan masih belum mengenal istilah-istilah dalam konsep ekonomi islam, seperti syirkah, mudharabah, dll. Mereka lebih mengenal dengan istilah paron atau bawon, pertelonan, dll. Dalam praktek intinya sama dengan konsep ekonomi islam.
Bertani bawang merah merupaka salah satu usaha yang penuh resiko dan juga jika memperoleh keuntungan, keuntungan yang didapat lumayan besar. Karena resiko yang dihadapi lumayan tinggi, ketika mengalami kerugian pemilik modal dan pengelola atau penggarap sering mengalami kesalah pahaman. Berdasarkan masalah tersebut, maka latar belakang dari artikel ilmiah ini yaitu untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk profit and loss sharing yang dilakukan oleh para petani bawang merah dan mengidentifikasi profit and loss sharing yang selama ini dilakukan oleh para petani bawang merah yang sesuai dengan konsep islam. 
4.      Metode Penelitian
Metode penelitian yang ditulis penulis yaitu menggunakan metode observasi langsung sebagai data primer, dan juga menggunakan informasi yang telah terdokumentasikan baik berupa buku, jurnal, dan makalah ilmiah maupun hasil penelitian sebagai data sekunder. Untuk mendapatkan hasil maksimal penulis menggunakan strategi dan tehnik penelitian yang dipandang tepat serta dapat dipertanggung jawabkan. Tehnik penelitian yang dimaksud penulis yaitu: (1) pendekatan studi, (2) penentuan lokasi penelitian, (3) pengumpulan data lapangan, serta (4) tehnik analisis data.
     1.Pendekatan studi
            Pendekatan studi yang dilakukan penulis yaitu  studi kasus yang bersifat analisis diskriptif, model ini bersifat survai. Serta penulis juga memilih pendekatan kualitatif untuk memperoleh pemahaman lebih mendalam yang berhasil direkam oleh penulis untuk diteliti.
    2.Objek dan lokasi penelitian
Penelitian ini mengarahkan perhatiannanya terhadap pelaksanaan bagi hasil yang dilakukan oleh para petani bawang merah disalah satu Kabupaten yang berada di Jawa Timur. Serta pelaksanaan profit and loss sharing sudah sesuai dengan konsep ekonomi islam.
    3.Pengumpulan data
Pengumpulan data yang dilakukan penulis yaitu menggunakan sarana wawancara, obeservasi, dan studi dokumenter. Serta untuk menguji validitas data, penulis melakukan beberapa cara diantaranya: 1) mengakrabkan diri dengan sumber informasi,2) banyak melakukan diskusi dengan para ahli dan peneliti lainnya, khususnya bagi mereka yang menaruh perhatian pada pelaksanaan bagi hasil yang dilakukan petani-petani dipedesaan.
    4.Tehnik analisis data
Penulis secara bertahap setelah melakukan proses pengolahan data, kemudian bertahap data tersebut diklasifikasi, disaring, diidentifikasi, digeneralisasi, dan kemudian ditarik konstruksi-konstruksi teoritisnya.
5.      Kelebihan atau keunggulan
a)   Kelebihan artikel ilmiah ini yaitu mengangkat sebuah permaslahan yang sepeleh namun dampaknya sangat besar jika terjadi. Seperti latar belakang yang telah dipaparkan tadi, bahwa petani bawang merah sangat tinggi resiko usahanya. Jika mengalami kerugian pemilik modal dan penggarap sering terjadi kesalah pahaman. Ketika terjadi kesalah pahaman kemunculan permusuhan antara keduanya sangat besar. Maka diperlukan suatu penelitian penyebab terjadinya kesalah pahaman tadi dan memberikan solusi.
b)      Dalam hal isi kelebihan dari artikel yaitu isi dari pembahasan profit and loss sharing sudah seimbang dengan bukti dari kandungan Al-quran dan Hadist. Keseimbangan itu dibuktikan dengan pemaparan Konsep ilmu profit and loss sharing itu sendiri dengan pemaparan yang dijelaskan didalam Al-Quran dan Hadist
c)      Isi dari pembahasan profit and loss sharing sudah gamblang dijelaskan. Mulai dari pengertian profit and loss sharing, jenis-jenis pembiayaan dalam ekonomi islam, prinsip-prinsip bagi hasil, dan investasi berdasarkan bagi hasil. Sehingga memudahkan pembaca memahami artikel ilmiah ini.
6.      Kekurangan atau kelemahan artikel
1.      Kekurangan dari artikel ini yaitu tidak disebutkan secara detail nama daerah yang dijadikan objek penelitian yang dilakukan. Hal itu dapat dilihat dari poin objek dan lokasi penelitian. Bagi pembaca menimbulkan keraguan akan bentuk fakta objek penelitian yang dilakukan. Apakah benar-benar dilakukan sebuah penelitian ataukah hanya sebuah karangan saja.
Saran kami dari pembaca, seharusnya penulis memaparkan secara detail lokasi penelitian yang dilakukan. Tujuannya untuk memberikan kepastian kepada pembaca bahwa penulis benar-benar melakukan penelitian yang dijadikan objek penulisan. Serta sebagai refrensi lokasi penelitian untuk pembaca  yang ingin mengulang penelitian tersebut dilokasi penelitian yang sama.
2.      Tidak terdapat pemaparan, isi pembahasan teori dengan hasil penelitian yang diperoleh. Hasil penelitian yang diperoleh pneyebab terjadinya kesalah pahaman diantara shahibul maal atau pemilik modal bawang merah dengan mudharib atau penggarap bawang merah terjadi karena pada saat akad tidak terdapatnya penulisan atau bukti atau dokumentasi dalam setiap kegiatan mulai dari proses akad sampai panen (pembagian hasil). Namun didalam pembahasan atau isi tidak dijelaskan seperti apa konsep akad dalam mudharabah atau investasi yang sesuai dengan ekonomi islam. Hal ini membuat pembaca menjadi bertanya-tanya.
Saran kami dari pembaca, seharusnya penulis memberikan teori atau konsep akad yang ada terdapat dalam akad bagi hasil atau profit and loss sharing.
3.                   Kemudian kelemahan atau kekurangan yang ditemukan pembaca, yaitu penulis masih belum memberikan solusi dari penelitian ilmiah yang telah dilakukan. Jika hasil penelitian yang ditemukan penulis penyebab dari kesalahan pahaman petani bawang merah ketika mengalami kerugian dalam usahanya yaitu tidak terdapatnya  penulisan atau dokumentasi  dalam setiap kegiatan usahanya mulai dari proses akad sampai panen (bagi hasil).
Saran dari pemabaca, seharusnya penulis memberikan solusi dari penelitian yang ditemukan. Tujuannya untuk dapat diterapakan bagi pembaca ketika menemui permasalahan yang sama. Dan solusi tersebut bisa diterapakan kepada petani bawang merah yang menjadi objek penlitian penulis.
7.      Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat pembaca dari hasil pengamatan dan pemahaman pembada artikel ilmiah ini bisa dilihat pada poin kesimpulan yang dipaparkan penulis. Ternyata hasil dari penlitian yang dilakukan penulis dari permasalahan yang dihadapi petani bawang merah, yaitu terjadi kesalah pahaman diantara mereka  ketika melakukan kegiatan bagi hasil atau profit and loss sharing. Penulis mengemukakan semata-mata permasalahan tersebut terjadi  diakibatkan tidak adanya penulisan dalam setiap kegiatan mulai dari proses akad sampai panen (bagi hasil). Pembaca mendapatkan ilmu baru tentang begitu besarnya proses penulisan atau dokumentasi dari proses bagi hasil mulai dari akad sampai panen. Pembaca memehami  jika penulisan tersebut tidak dilakukan oleh shahibul mall dan mudharib salah satu penyebabnya gampang terjadi kesalah pamahan yang dapat memunculkan permusuhan diatara shahibul maal dan mudharib.
Menurut pembaca manfaat penulisan pada saat proses bagi hasil adalah sebagai berikut:
a)               Memberikan informasi tentang peristiwa yang sedang dilakukan
b)               Sebagai bahan bukti
c)               Sebagai bahan penelitian
d)              Sebagai pertanggung jawaban dari orang yang melakukan kegiatan
e)               Bahan pembuatan laporan
f)                Sebagai alat Bukti hukum



Selasa, 02 Desember 2014

Sinopsis Film Dokumenter "Kisah Genre Lokalisasi Dolly"

Sinopsis Film Dokumenter "Kisah Genre Lokalisasi Dolly"


Kisah ini berasal dari daerah di daerah Jarak, Pasar Kembang,  Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Di daerah tersebut adalah daerah lokalisasi tempat jual beli wanita pekerja seks yang terbesar di ASIA. Tentu ada dampak positif dan ada dampak neagtifnya didaerah lokalisasi tersebut. Dampak positifnya yaitu ekonomi dari warga lokalisasi sangat bergantung terhadap adanya lokalisasi. Namun dampak negatifnya juga banyak . terutama terhadapa remaja disana . Diantaranya  kasus seks diluar nikah tinggi,melakukan merabah-rabah organ, melakukan berciuman mulut, merabah payudara dan sebagainya . Bahkan narkotika mirnuman keras rata-rata konsumennya remaja. Melihat keadaan seperti itu, terdapat pemuda-pemuda yang berencana merubah dan menjaga agar pemuda yang ada di lokalisasi tidak terjebak dalam hal negatif.

 Dedik, dia adalah ketua dari sekelompok mahasiswa dari jurusan kesehatan masayrakat yang ingin menyelamtkan remaja-remaja di lokalisasi. Dia dan teman-teman memiliki progam K-pro(kesehatan reproduksi) dengan menunjuk remaja-remaja didaerah lokalisasi. Dan juga dia dan teman-teman memiliki pembinaan-pembinaan terhadap remaja dilokalisasi. Fokusnya membina / memberikan informasi yang benar. Tujuannya adalah pemahaman konsep reproduksi remaja ada tiga dimensi kesehatan reproduksi :
1.      Masalah pubertas
2.      Narkoba
3.      HIV Aids
Remaja perlu dibekali informasi  yang benar ujung-ujungnya kita sebut kesehatan reproduksi remaja. Serta sekelompok mahasiwa ini ingin membangkitkan peran karang taruna di kawasan lokalisasi. Jadi mas dedik dan kawan-kawan merevitalisasi peran karang taruna sebagai penggerak anti NAPZA(narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) serta seks bebas. Jadi mempersiapakn pemuda agar menjadi informan bagi pemuda lain yang berada dilokalisasi agar mendapatkan informasi yang benar tentang reproduksi, NAPZA, dan lain-lain.

     Menurut pengakuan dari  dedik ternyata remaja dilokalisasi  banyak yang mencari informasi tentang reroduksi kepada temannya yang sama-sam tidak mengerti, akhirnya informasi yang mereka dapatkan menjadi salah. Oleh karena itu perlu adanya informasi yang benar kepada remaja di lokalisasi. Remaja di lokalisasi perlu diselamatkan. Mereka memiliki masa depan yang panjang. Semetara pembinaan terkait reproduksi di tempat lokalisasi di sana tidak berjalan atau tidak ada yang mengurusi. 


Senin, 01 Desember 2014

MAKALAH QAIDAH FIQHIYYAH TENTANG "AKAD"


MAKALAH QAIDAH FIQHIYYAH TENTANG "AKAD"

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian akad
Secara literal, akad berasal dari bahasa arab yaitu عَقَدَ يَعْقِدُ عَقْدًا yang berarti perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ). Menurut para ulama fiqh, kata akad didefenisikan sebagai hubungan antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang ditetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan Pertama, dalam ijab dan kabul. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan. Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat dartikan sebagai kemitraan yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah.[1] Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh kepada sesuatu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dimksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan hukum tertentu.
Hal yang penting bagi terjadinya akad adalah adanya ijab dan qabul. Ijabqobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridlaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridlaan dan syari’at Islam.[2]

B.     Syarat dan rukun akad
1.      syarat-syarat akad
Ada beberapa syarat yang berkaitan dengan akad, [3] yaitu:
a. Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal.
Syarat ini terbagi atas dua bagian:[4]
1)  Syarat Obyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan obyek akad. Obyek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam akad jual-beli, obyeknya adalah barang  yang diperjualbelikan dan harganya. Dalam akad gadai obyeknya adalah barang gadai dan utang  yang diperolehnya, dan lain sebagainya. Agar sesuatu akad dipandang sah, obyeknya harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a). Telah ada pada waktu akad diadakan.
Barang yang belum wujuh tidak dapat menjadi obyek akad menurut pendapat kebanyakan Fuqaha’ sebab hukum dan akibat akad tidakmungkin bergantung pada sesuatu yang belum wujuh. Oleh kerena itu, akad salam (pesan barang dengan pembayaran harga atau sebagian atau seluruhnya lebih dulu), dipandang sebagai pengecualian dari ketentuan umum tersebut. Ibnu Taimiyah, salah seorang ulama mazhab Hambali memandang sah akad mengenai obyek akad yang belum wujuh dalam berbagai macam bentuknya, selagi dapat terpelihara tidak akan terjadi persengketaan di kemudian hari. Masalahnya adalah sudah atau belum wujuhnya obyek akad itu, tetapi apakah akan mudah menimbulkan sengketa atau tidak.
b). Dapat menerima hukum akad.
 Para Fuqaha’ sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat menerima hukum akad tidak dapat menjadi obyek akad. Dalam jual misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual-beli. Minuman keras bukan benda bernilai bagikaum muslimin, maka tidak memenuhi syarat menjadi obyek akad jual beli antara para pihak yang keduanya atau salah satunya beragama Islam.
c). Dapat diketahui dan diketahui.
Obyek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh dua belah pihak yang melakukan akad. Ketentuan ini tidak mesti semua satuan yang akan menjadi obyek akad, tetapi dengan sebagian saja, atau ditentukan sesuai dengan urfI yang berlaku dalam masyarakat tertentu yang tidak bertentangan dengan ketentuan agama.
d). Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.
Yang dimaksud di sini adalah bahwa obyek akad tidak harus dapat diserahkan seketika, akan tetapi menunjukkan bahwa obyek tersebut benar-benar ada dalam kekuasaan yang sah pihak bersangkutan.
2). Syarat subyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan subyek akad.
Dalam hal ini, subyek akad harus sudah aqil (berkal), tamyiz (dapatmembedakan), mukhtar (bebas dari paksaan). Selain itu, berkaitan dengan orang yang berakad, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu:
a). Kecakapan (ahliyah), adalah kecakapan seseorang untuk memiliki hak (ahliyatul wujub) dan dikenai kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasarruf (ahjliyatul ada’).
b). Kewenangan (wilayah), adalah kekuasaan hukum yang pemiliknya dapat beratasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan.
c). Perwakilan (wakalah) adalah pengalihan kewenagan perihal harata dan perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindalan tertentu dalam hidupnya.
b. Syarat kepastian hukum (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain.
2.      Rukun-rukun akad
Rukun-rukun dalam akad sebagai berikut:[5]
1)      Aqid (orang yang menyelenggarakan akad)
Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memilki hak dan yang akan diberi hak. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau kriteria harus dipenuhi oleh aqid antara lain:
a)      Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi, mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal.
b)      Wilayah
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar’I untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang itu merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi.
2)      Ma’qud alaih (objek transaksi)
Ma’qud alaih harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut :
a) obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan
b) obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwin (harta yang diperbolehkan syara’) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya
c) obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
d) adanya kejelasan tentang objek transaksi
e) obyek transaksi harus suci, tidak terkena najus dan bukan barang najis
3)      Shighat, yaitu ijab dan kabul
Ijab dan kabul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad. Dalam ijab dan kabul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut:
a.       Adanya kejelasan masud antara kedua belah pihak
b.      Adanya kesesuaian antara ijab dan kabul
c.       Adanya pertemuan ijab dan kabul
d.      Adanya  satu majlis akad dan pembatalan dari keduanya
Ijab dan kabul dinyatakan batal apabila :
a)      Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli
b)      Adanya penolakan ijab dari si pembeli
c)      Berakhir majlis akad. Jika kedua belah pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah terpisah dari majlis akad
d)     Kedua belah pihak salah satu, hilang ahliyah-nya sebelum terjadi kesepakatan
e)      Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan
C.    Macam-macam akad
Dalam hal pembagian akad ini, ada beberapa macam akad yang didasarkan atas sudut pandang masing-masing, yaitu:
1. Berdasarkan ketentuan syara’
a. Akad sahih, yaitu akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Akad yang memenuhi rukun dan syarat sebagaimana telah disebutkan di atas, maka akad tersebut masuk dalam kategori akad sahih.
b. Akad ghairu sahih, yaitu akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. Dengan demikian, akad semacam ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Dalam hal ini ulama hanafiyah membedakan antara akad fasid dan akad batal, dimana ulama jumhur tidak membedakannya. Akad batal adalah akad yang tidak memenuhi rukun, seperti tidak ada barang yang diakadkan, akad yang dilakukan oleh orang gila dan lain-lain. Sedangkan akad fasid adalah akad yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi dilarang oleh syara’, seperti menjual narkoba, miras dan lain-lain.
2. Berdasarkan penamaannya, dibagi menjadi:
a. Akad yang sudah diberi nama oleh syara’, seperti jual-beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
b. Akad yang belum dinamai oleh syara’, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
3. Berdasarkan zatnya, dibagi menjadi:
a. Benda yang berwujud (al-‘ain), yaitu benda yang dapat dipegang oleh indra kita, seperti sepeda, uang, rumah dan lain sebagainya.
b. Benda tidak berwujud ( ghair al-‘ain), yaitu benda yang tidak dapat kita indra dengan indra kita, namun manfaatnya dapat kita rasakan, seperti informasi, lisensi, dan lain sebagainya.
D.    Tujuan akad
Tujuan akad memperoleh peran yang amat penting, apalagi dalam hal muamalat/bisnis. Tanpa ada tujuan yang jelas, secara otomatis tidak ada yang dapat dilakukan dari terbentuknya akad tersebut. Sehingga akad tersebut dipandang tidak sah dan tidak memiliki konsekuensi hukum. Dari sini, diperlukan adanya syarat-sayarat tujuan akad sebagai berikut:[6]
1)      Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yag bersangkutan tanpa akad yang diadakan.. tujuannya hendaknya baru ada pada saat akad diadakan.
2)      Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad. Misalnya akad untuk menyewa rumah selama lima tahun untuk diambil manfaatnya. Jika belum ada lima tahun rumah itu telah hancur maka akadnya menjadi rusak karena hilamgnya tujuan yang hendak dicapai.
3)      Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara’. Jadi tidak boleh melakukan akad dengan tujuan yang melanggar ketentuan agama. Misalnya akad untuk melakukan patungan uang sebagai modal bisnis sabu-sabu.
E.     Asas Akad dan Maqashid Syariah
Kita tahu bahwa akad (transaksi) merupakan bagian dari fikih mu’amalah.Jika fikih muamalahmengatur hubungan manusia dengan sesamanya secara umum, maka transaksi mengatur hubungan manusia dengan sesama menyangkut pemenuhan kebutuhan ekonominya.[7]Dalam pandangan fiqh muamalah, akad (transaksi) yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad memiliki asas-asas tertentu.Asas ini merupakan prinsip yang ada dalam akad dan menjadi landasan, apabila sebuah akad dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan.[8]Adapun asas tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Asas ibahah; asas ini merupakan asas umum dalam hukum Islam. Kepadanya berlaku kaidah fiqh:ا الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحري[9]
pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu boleh kecuali ada dalil yang melarangnya
Kaidah di atas memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fiqh muamalah untuk menciptakan berbagai kreatifitas akad baru selama tidak bertentangan larangan universal dalam hukum Islam.
2.      Asas kebebasan; asas ini meniscayakan setiap orang yang memenuhi syarat tertentu, memiliki kebebasan untuk melakukan akad, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum. Asas kebebasan dalam Islam tidak berarti bebas secara mutlak, akan tetapi bebas dengan persyaratan tertentu.[10]Asas ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 29 sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan landasan akad, pada ayat tersebut terkandung dua pesan yang perlu diperhatikan, yaitu; pertama, hendaklah perdagangan dilakukan atas dasar suka-rela dan kedua, hendaklah keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas kerugian orang lain.[11] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap transaksi yang tidak dilandasi kerelaan dari kedua belah pihak maka transaksi yang dilakukan menjadi batal.
3.      Asas konsensualisme; asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.[12] Artinya, bahwa dalam asas ini mengutamakan substansi dari pada format. Jadi, kerelaan kedua belah pihak yang berakad sebagai substansi dan ijab-qabul sebagai format yang memanifestasikan kerelaan.
4.      Asas keseimbangan; hukum perjanjian Islam memandang perlu adanya keseimbangan antara orang yang berakad, baik keseimbangan antara apa yang diberikannya dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam menanggung resiko.[13] Artinya, bahwa seseorang yang melakukan transaksi harus menghindari adanya unsur riba dan merugikan salah satu pihak. Dengan demikian, larangan riba merupakan prinsip yang sangat penting dan mendasar. Selain itu, juga harus menghindari terjadinya mudharat pada salah satu / kedua belah pihak. Karena setiap muamalah yang menimbulkan mudharat adalah batal, sebagaimana hadis Rasulullah Saw. yang dikutip oleh Imam Nakha’i dan M. Asra Maksum dari kitab al-Muwatta’  Imam Malik yang berbunyi:[14]أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لاضرر ولا ضرار
Artiinya:”Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, tidak boleh melakukan darar baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain”. (HR. Imam Malik).
5.      Asas kemaslahatan; artinya bahwa akad yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak.[15]Maslahah di sini berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat, berdagang atau transaksi dalam muamalah adalah maslahah karena membawa manfaat dan kebaikan.
6.      Asas amanah; artinya bahwa para pihak yang melakukan akad haruslah beriktikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum perjanjian Islam dikenal perjanjian amanah ialah salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan.[16]Dengan demikian, jika suatu saat ditemukan informasi yang tidak sesuai dengan informasi awal karena tidak jujur, maka ketidak jujuran tersebut bisa dijadikan dasar untuk membatalkan akad.
7.      Asas keadilan; keadilan merupakan sebuah sendi yang hendak diwujudkan oleh para pihak yang melakukan akad. Seringkali dalam dunia modern ditemukan sebuah keterpaksaan salah satu pihak oleh pihak lainnya yang dibakukan dalam klausul akad tanpa bisa dinegosiasi. Keterpaksaan tersebut bisa didorong oleh kebutuhan ekonomi atau yang lainnya. Dalam hukum Islam kontemporer, telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan memang ada alasan untuk itu.[17] Oleh karena itu, adanya asas keadilan ini diharapakan bisa mendorong pihak yang melakukan transaksi selalu bernegosiasi sehingga muncul rasa saling rela dalam rangka untuk mencapai keadilan terhadap keduanya.   






[1] Forum anak ekis STAIN watampone, “konsep akad dalam fiqh muamalah”, diakses dari https://www.facebook.com/ekis.stain.wtp/posts/695419197135820, pada tanggal 25 November 2014 pukul 22.26
[2] Dikutib dalam, Rachmad Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. Ke-2,
2004, hlm. 45.
[3] Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2000, hlm. 46.
[4] Rahmat Syafe’i, op. cit.., hlm. 64-66
[5] Forum anak ekis STAIN watampone, “konsep akad dalam fiqh muamalah”, diakses dari https://www.facebook.com/ekis.stain.wtp/posts/695419197135820, pada tanggal 25 November 2014 pukul 22.50
[6] mochammadar,”teori akad dalam islam”, diakses dari http://digilib.walisongo.ac.id/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-mochamadar-1276-bab2_210-0.pdf, pada tanggal 26 November 2014 pukul 23:22
[7] M. Khafifuddin, “Metodologi Kajian Fiqh”,cet  ke 2, (Situbondo: Ibrahimy Press, 2011), hlm. 13. 
[8] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 46-47.
[9]Imam Nakha’i dan Moh. Asra Ma’sum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah”, (Situbondo:Ibrahimy Press, 2011), hlm. 63.
[10] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 47.
[11] M. Khafifuddin, “Metodologi Kajian Fiqh”,cet  ke 2, hlm. 15.
[12] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 48.
[13]Ibid.
[14]Imam Nakha’i dan Moh.Asra Ma’sum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah”, hlm. 17.
[15] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 48-49.
[16][63] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 49.
[17][64]Ibid.