Senin, 01 Desember 2014

MAKALAH QAIDAH FIQHIYYAH TENTANG "AKAD"


MAKALAH QAIDAH FIQHIYYAH TENTANG "AKAD"

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian akad
Secara literal, akad berasal dari bahasa arab yaitu عَقَدَ يَعْقِدُ عَقْدًا yang berarti perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ). Menurut para ulama fiqh, kata akad didefenisikan sebagai hubungan antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang ditetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan Pertama, dalam ijab dan kabul. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan. Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat dartikan sebagai kemitraan yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah.[1] Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh kepada sesuatu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dimksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan hukum tertentu.
Hal yang penting bagi terjadinya akad adalah adanya ijab dan qabul. Ijabqobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridlaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridlaan dan syari’at Islam.[2]

B.     Syarat dan rukun akad
1.      syarat-syarat akad
Ada beberapa syarat yang berkaitan dengan akad, [3] yaitu:
a. Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal.
Syarat ini terbagi atas dua bagian:[4]
1)  Syarat Obyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan obyek akad. Obyek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam akad jual-beli, obyeknya adalah barang  yang diperjualbelikan dan harganya. Dalam akad gadai obyeknya adalah barang gadai dan utang  yang diperolehnya, dan lain sebagainya. Agar sesuatu akad dipandang sah, obyeknya harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a). Telah ada pada waktu akad diadakan.
Barang yang belum wujuh tidak dapat menjadi obyek akad menurut pendapat kebanyakan Fuqaha’ sebab hukum dan akibat akad tidakmungkin bergantung pada sesuatu yang belum wujuh. Oleh kerena itu, akad salam (pesan barang dengan pembayaran harga atau sebagian atau seluruhnya lebih dulu), dipandang sebagai pengecualian dari ketentuan umum tersebut. Ibnu Taimiyah, salah seorang ulama mazhab Hambali memandang sah akad mengenai obyek akad yang belum wujuh dalam berbagai macam bentuknya, selagi dapat terpelihara tidak akan terjadi persengketaan di kemudian hari. Masalahnya adalah sudah atau belum wujuhnya obyek akad itu, tetapi apakah akan mudah menimbulkan sengketa atau tidak.
b). Dapat menerima hukum akad.
 Para Fuqaha’ sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat menerima hukum akad tidak dapat menjadi obyek akad. Dalam jual misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual-beli. Minuman keras bukan benda bernilai bagikaum muslimin, maka tidak memenuhi syarat menjadi obyek akad jual beli antara para pihak yang keduanya atau salah satunya beragama Islam.
c). Dapat diketahui dan diketahui.
Obyek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh dua belah pihak yang melakukan akad. Ketentuan ini tidak mesti semua satuan yang akan menjadi obyek akad, tetapi dengan sebagian saja, atau ditentukan sesuai dengan urfI yang berlaku dalam masyarakat tertentu yang tidak bertentangan dengan ketentuan agama.
d). Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.
Yang dimaksud di sini adalah bahwa obyek akad tidak harus dapat diserahkan seketika, akan tetapi menunjukkan bahwa obyek tersebut benar-benar ada dalam kekuasaan yang sah pihak bersangkutan.
2). Syarat subyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan subyek akad.
Dalam hal ini, subyek akad harus sudah aqil (berkal), tamyiz (dapatmembedakan), mukhtar (bebas dari paksaan). Selain itu, berkaitan dengan orang yang berakad, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu:
a). Kecakapan (ahliyah), adalah kecakapan seseorang untuk memiliki hak (ahliyatul wujub) dan dikenai kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasarruf (ahjliyatul ada’).
b). Kewenangan (wilayah), adalah kekuasaan hukum yang pemiliknya dapat beratasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan.
c). Perwakilan (wakalah) adalah pengalihan kewenagan perihal harata dan perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindalan tertentu dalam hidupnya.
b. Syarat kepastian hukum (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain.
2.      Rukun-rukun akad
Rukun-rukun dalam akad sebagai berikut:[5]
1)      Aqid (orang yang menyelenggarakan akad)
Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memilki hak dan yang akan diberi hak. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau kriteria harus dipenuhi oleh aqid antara lain:
a)      Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi, mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal.
b)      Wilayah
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar’I untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang itu merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi.
2)      Ma’qud alaih (objek transaksi)
Ma’qud alaih harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut :
a) obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan
b) obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwin (harta yang diperbolehkan syara’) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya
c) obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
d) adanya kejelasan tentang objek transaksi
e) obyek transaksi harus suci, tidak terkena najus dan bukan barang najis
3)      Shighat, yaitu ijab dan kabul
Ijab dan kabul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad. Dalam ijab dan kabul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut:
a.       Adanya kejelasan masud antara kedua belah pihak
b.      Adanya kesesuaian antara ijab dan kabul
c.       Adanya pertemuan ijab dan kabul
d.      Adanya  satu majlis akad dan pembatalan dari keduanya
Ijab dan kabul dinyatakan batal apabila :
a)      Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli
b)      Adanya penolakan ijab dari si pembeli
c)      Berakhir majlis akad. Jika kedua belah pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah terpisah dari majlis akad
d)     Kedua belah pihak salah satu, hilang ahliyah-nya sebelum terjadi kesepakatan
e)      Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan
C.    Macam-macam akad
Dalam hal pembagian akad ini, ada beberapa macam akad yang didasarkan atas sudut pandang masing-masing, yaitu:
1. Berdasarkan ketentuan syara’
a. Akad sahih, yaitu akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Akad yang memenuhi rukun dan syarat sebagaimana telah disebutkan di atas, maka akad tersebut masuk dalam kategori akad sahih.
b. Akad ghairu sahih, yaitu akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. Dengan demikian, akad semacam ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Dalam hal ini ulama hanafiyah membedakan antara akad fasid dan akad batal, dimana ulama jumhur tidak membedakannya. Akad batal adalah akad yang tidak memenuhi rukun, seperti tidak ada barang yang diakadkan, akad yang dilakukan oleh orang gila dan lain-lain. Sedangkan akad fasid adalah akad yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi dilarang oleh syara’, seperti menjual narkoba, miras dan lain-lain.
2. Berdasarkan penamaannya, dibagi menjadi:
a. Akad yang sudah diberi nama oleh syara’, seperti jual-beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
b. Akad yang belum dinamai oleh syara’, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
3. Berdasarkan zatnya, dibagi menjadi:
a. Benda yang berwujud (al-‘ain), yaitu benda yang dapat dipegang oleh indra kita, seperti sepeda, uang, rumah dan lain sebagainya.
b. Benda tidak berwujud ( ghair al-‘ain), yaitu benda yang tidak dapat kita indra dengan indra kita, namun manfaatnya dapat kita rasakan, seperti informasi, lisensi, dan lain sebagainya.
D.    Tujuan akad
Tujuan akad memperoleh peran yang amat penting, apalagi dalam hal muamalat/bisnis. Tanpa ada tujuan yang jelas, secara otomatis tidak ada yang dapat dilakukan dari terbentuknya akad tersebut. Sehingga akad tersebut dipandang tidak sah dan tidak memiliki konsekuensi hukum. Dari sini, diperlukan adanya syarat-sayarat tujuan akad sebagai berikut:[6]
1)      Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yag bersangkutan tanpa akad yang diadakan.. tujuannya hendaknya baru ada pada saat akad diadakan.
2)      Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad. Misalnya akad untuk menyewa rumah selama lima tahun untuk diambil manfaatnya. Jika belum ada lima tahun rumah itu telah hancur maka akadnya menjadi rusak karena hilamgnya tujuan yang hendak dicapai.
3)      Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara’. Jadi tidak boleh melakukan akad dengan tujuan yang melanggar ketentuan agama. Misalnya akad untuk melakukan patungan uang sebagai modal bisnis sabu-sabu.
E.     Asas Akad dan Maqashid Syariah
Kita tahu bahwa akad (transaksi) merupakan bagian dari fikih mu’amalah.Jika fikih muamalahmengatur hubungan manusia dengan sesamanya secara umum, maka transaksi mengatur hubungan manusia dengan sesama menyangkut pemenuhan kebutuhan ekonominya.[7]Dalam pandangan fiqh muamalah, akad (transaksi) yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad memiliki asas-asas tertentu.Asas ini merupakan prinsip yang ada dalam akad dan menjadi landasan, apabila sebuah akad dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan.[8]Adapun asas tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Asas ibahah; asas ini merupakan asas umum dalam hukum Islam. Kepadanya berlaku kaidah fiqh:ا الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحري[9]
pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu boleh kecuali ada dalil yang melarangnya
Kaidah di atas memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fiqh muamalah untuk menciptakan berbagai kreatifitas akad baru selama tidak bertentangan larangan universal dalam hukum Islam.
2.      Asas kebebasan; asas ini meniscayakan setiap orang yang memenuhi syarat tertentu, memiliki kebebasan untuk melakukan akad, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum. Asas kebebasan dalam Islam tidak berarti bebas secara mutlak, akan tetapi bebas dengan persyaratan tertentu.[10]Asas ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 29 sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan landasan akad, pada ayat tersebut terkandung dua pesan yang perlu diperhatikan, yaitu; pertama, hendaklah perdagangan dilakukan atas dasar suka-rela dan kedua, hendaklah keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas kerugian orang lain.[11] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap transaksi yang tidak dilandasi kerelaan dari kedua belah pihak maka transaksi yang dilakukan menjadi batal.
3.      Asas konsensualisme; asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.[12] Artinya, bahwa dalam asas ini mengutamakan substansi dari pada format. Jadi, kerelaan kedua belah pihak yang berakad sebagai substansi dan ijab-qabul sebagai format yang memanifestasikan kerelaan.
4.      Asas keseimbangan; hukum perjanjian Islam memandang perlu adanya keseimbangan antara orang yang berakad, baik keseimbangan antara apa yang diberikannya dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam menanggung resiko.[13] Artinya, bahwa seseorang yang melakukan transaksi harus menghindari adanya unsur riba dan merugikan salah satu pihak. Dengan demikian, larangan riba merupakan prinsip yang sangat penting dan mendasar. Selain itu, juga harus menghindari terjadinya mudharat pada salah satu / kedua belah pihak. Karena setiap muamalah yang menimbulkan mudharat adalah batal, sebagaimana hadis Rasulullah Saw. yang dikutip oleh Imam Nakha’i dan M. Asra Maksum dari kitab al-Muwatta’  Imam Malik yang berbunyi:[14]أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لاضرر ولا ضرار
Artiinya:”Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, tidak boleh melakukan darar baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain”. (HR. Imam Malik).
5.      Asas kemaslahatan; artinya bahwa akad yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak.[15]Maslahah di sini berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat, berdagang atau transaksi dalam muamalah adalah maslahah karena membawa manfaat dan kebaikan.
6.      Asas amanah; artinya bahwa para pihak yang melakukan akad haruslah beriktikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum perjanjian Islam dikenal perjanjian amanah ialah salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan.[16]Dengan demikian, jika suatu saat ditemukan informasi yang tidak sesuai dengan informasi awal karena tidak jujur, maka ketidak jujuran tersebut bisa dijadikan dasar untuk membatalkan akad.
7.      Asas keadilan; keadilan merupakan sebuah sendi yang hendak diwujudkan oleh para pihak yang melakukan akad. Seringkali dalam dunia modern ditemukan sebuah keterpaksaan salah satu pihak oleh pihak lainnya yang dibakukan dalam klausul akad tanpa bisa dinegosiasi. Keterpaksaan tersebut bisa didorong oleh kebutuhan ekonomi atau yang lainnya. Dalam hukum Islam kontemporer, telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan memang ada alasan untuk itu.[17] Oleh karena itu, adanya asas keadilan ini diharapakan bisa mendorong pihak yang melakukan transaksi selalu bernegosiasi sehingga muncul rasa saling rela dalam rangka untuk mencapai keadilan terhadap keduanya.   






[1] Forum anak ekis STAIN watampone, “konsep akad dalam fiqh muamalah”, diakses dari https://www.facebook.com/ekis.stain.wtp/posts/695419197135820, pada tanggal 25 November 2014 pukul 22.26
[2] Dikutib dalam, Rachmad Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. Ke-2,
2004, hlm. 45.
[3] Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2000, hlm. 46.
[4] Rahmat Syafe’i, op. cit.., hlm. 64-66
[5] Forum anak ekis STAIN watampone, “konsep akad dalam fiqh muamalah”, diakses dari https://www.facebook.com/ekis.stain.wtp/posts/695419197135820, pada tanggal 25 November 2014 pukul 22.50
[6] mochammadar,”teori akad dalam islam”, diakses dari http://digilib.walisongo.ac.id/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1-2006-mochamadar-1276-bab2_210-0.pdf, pada tanggal 26 November 2014 pukul 23:22
[7] M. Khafifuddin, “Metodologi Kajian Fiqh”,cet  ke 2, (Situbondo: Ibrahimy Press, 2011), hlm. 13. 
[8] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 46-47.
[9]Imam Nakha’i dan Moh. Asra Ma’sum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah”, (Situbondo:Ibrahimy Press, 2011), hlm. 63.
[10] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 47.
[11] M. Khafifuddin, “Metodologi Kajian Fiqh”,cet  ke 2, hlm. 15.
[12] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 48.
[13]Ibid.
[14]Imam Nakha’i dan Moh.Asra Ma’sum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah”, hlm. 17.
[15] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 48-49.
[16][63] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 49.
[17][64]Ibid.

Resensi Buku

    Identitas buku

Judul buku                  : Perencanaan Sebagai Fungsi Manajemen
Penulis                         : Drs A.W Widjaya
Penerbit                       : PT Bina Aksara
Cetakan                       : Pertama
Jumlah halaman           : 90 halaman
Tahun terbit                 : Agustus 1987

2       Isi yang penting atau menarik

Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Perencanaan sebagai penentu langkah-langkah “apa” yang akan dilakukan, “bagaimana” cara melakukannya, “bilamana” dan “siapa” yang akan melakukannya supaya tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Akan memiliki resiko yang tinggi jika suatu organisasi tidak melakukan perencanaan, dan akan menjumpai gangguan serta kegagalan yang dihadapi semakin tinggi didapatkan. Maka ada pepatah yang mengucapkan “Everything won’t go as smooth as planned” semua tidak akan berjalan selancar yang telah direncanakan.

3       Bahasa pengarang

Bahasa pengaranag dalam buku ini menggunakan bahasa komunikatif, cukup jelas, cukup gamblang dan mudah dipahami. Sehingga apa yang ingin disampaikan penulis dapat tersampaikan dengan baik.

      Keunggulan

Keunggulan dari buku ini yaitu pembahasan perencanaan dijelaskan sangta gamblang mulai dari perencanaan dalam orgganisasi, pembahsan perencanaan itu sendiri, teori dan penyusunan perencanaan.

      Kelemahan

Kelemahan dalam buku ini yaitu tidak dicantumkan contoh kasus nyata perencanaan yang dilakukan suatu organisasi, sehingga para pemula masih diawali kebingungan untuk memulai perencanaan tanpa ada contoh kasus.

6       Kesimpulan

Buku ini layak dibaca, karena didalamnya memberikan pemahaman sangat luas tentang perencanaan, khususnya bagi pemula pelaku kegiatan perencanaan. Buku ini juga memberikan informasi dan pengetahuan tentang suatu perencanaan sehingga membantu pembaca dalam menjalankan organisasi yang sedang atau telah dilakukan